top of page
Search
  • komorebinotes

Bicara dengan aksen, so what?



Anak perantauan pastinya akan sangat relatable dengan topik ini. Kalau sudah ke kota besar, sebisa mungkin mengurangi aksen bicara. Sebagian mungkin merasa agak memalukan untuk memiliki sebuah aksen atau logat ketika berbicara. Bisa jadi, ada yang menjadikan nya sebuah lelucon atau merasa bahwa itu terkesan kampungan. Yah, aku tidak berniat menilai itu salah ataupun benar. Hanya merasa ini masih menjadi sebuah hal yang bisa sedikit mengusik pikiranku. Ada apa dengan kita berbicara dengan logat? sebuah masalah kah?


Harusnya sih tidak. Negara kita, Indonesia, punya begitu banyak suku yang tersebar se-nusantara. Tentu akan banyak ditemui ragam orang denga aksen berbeda. Terlebih jika di kota besar seperti contohnya, Jakarta. Orang banyak ber-urbanisasi ke Jakarta. Pastilah hal ini dapat ditemui. Aku tidak begitu yakin apakah masalah berasal dari sisi si perantau atau mereka yang berdomisili di ibu kota. Kalau dari sepatu anak perantau, aksen agak sulit dilepas. Tapi, bagi yang ingin beradaptasi ataupun menyatu dengan lingkungan, mungkin hal ini jadi satu masalah untuk dicari solusinya. Umumnya adalah membiasakan diri berperilaku selayak warga setempat. Mulai dari cara berbicara. Jika itu dari warga setempat, aku tidak bisa asal berpendapat untuk itu.

Sebenarnya, ini bukan suatu masalah yang begitu besar, untuk ingin serupa dengan warga kota. Hanya memang ini jadi sebuah stereotype bahwa tinggal di kota metropolitan bakalan menjadi anak kota, yang mana imagery yang dimiliki oleh umumnya warga daerah adalah kehidupan yang sangat lebih baik, jadi lebih trendy, penggunaan slang elo-gue, up-to-date lah. Dan berpotensi aksen mu berkurang. Bisa jadi tidak ada lagi.


Memiliki aksen itu kalau diperhatikan sebuah ke unikan tersendiri. Kenapa? ambil contoh aksen anak medan. Ada beberapa youtuber ataupun instagram user yang tidak meninggalkan aksen medan (suku) nya. Bahkan itu jadi ide untuk konten. Terbukti bahwa itu tidak masalah. Viewers mereka bahkan merasa terwakili bahwa ya (konten) itu sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Yaaa, itu contoh mereka yang banyak followersnya. Bagaimana orang biasa? Aku pikir sama saja.


"Aku iri dengan orang kota yang cara bicara nya bagus dan tertata"


Ya, tentu. Siapapun pasti demikian. Pandai berbicara adalah kemampuan yang banyak orang inginkan. Apalagi skill persuasif. Tapi, punya skill itu kan tidak harus mengurangi aksen bicara kita. Yah... tidak apa-apa kalau mau coba berbicara layaknya presenter tv atau mereka yang ada di tv/radio atau pembicara-pembicara pada workshop maupun stage lainnya. Aku juga pernah mengalami hal serupa. Melihatnya benar-benar membuka mataku. Jujur, ketika itu terjadi aku merasa begitu bodoh. Menyia-nyiakan masa remajaku. Tapi, itu ku jadikan pengalaman perjalanan. Itu akan jarang terjadi.


Gak apa-apa masih membekas aksen. Tentukan saja! kapan untuk pakai aksen dan kapan untuk tidak. Tapi bukan berarti merasa itu adalah satu penyakit yang harus disembuhkan dikarenakan itu adalah sebuah masalah ketika kita hidup di kota. Karena tujuan utama seorang urbanisasi adalah level up our-self / our life. Bukan meninggalkannya.



14 views0 comments

Recent Posts

See All
Post: Blog2_Post
bottom of page